Bukit Katarina adalah nama sebuah bukit kecil di kawasan Kelurahan Sei Renggas, Kec. Kisaran Barat, Kab. Asahan, Sumatera Utara. Lokasi ini tidak jauh dari RS. Ibu Kartini, dan berada di dalam areal HGU PT. Bakrie Sumatera Plantations (BSP) di tepi Sungai Silau. Oleh sebab itu, dibukit ini terdadapat tanaman pohon karet perkebunan milik PT. BSP. Nama bukit Katarina itu sendiri menurut cerita dari mulut kemulut diambil dari nama RS. Ibu Kartini yang dulunya sering disebut dengan nama RS. Katarina. Konon, untuk pertama kalinya dokter di RS itu bernama Dokter Chatherine yang ditugaskan dari negeri Belanda.
Jika dilihat sepintas, bukit Katerina merupakan gundukan tanah biasa yang tingginya mencapai kurang lebih 50 meter. Tempat ini sepertinya tidak terdapat hal-hal yang aneh atau luar biasa. Bahkan, ketika terjadi gempa Nias, Sumatera Utara pada malam hari, sekitar pukul 23.00 wib, beberapa tahun yang lalu, terdengar pula isu tsunami di wilayah Asahan. Tak ayal, bukit Katerina menjadi tujuan masyarakat Kisaran dan sekitarnya sebagai tempat mengungsi. Sehingga bukit tersebut penuh sesak dengan warga masyarakat. Padahal isyu tsunami hanya isapan jempol, yang sengaja dihembuskan untuk menciptakan suasana keruh dengan maksud agar masyarakat dilanda kepanikan.
Memang, tidak banyak yang tahu bahwa ternyata bukit Katerina menyimpan misteri yang hingga saat ini belum terpecahkan. Bagi seorang yang memiliki kemampuan spiritual linuwih, atau yang memiliki indera keenam, pasti akan meresakan sesuatu yang berbeda bila melawati temoat ini.
Menurut kisah yang sudah ada sejak turun-temurun, pada sekitar abad XVII, bukit Katerina adalah tempat bertempurnya panglima perang kerajaan Cina dengan Raja Maria Pane ke-7 dari Buntu Pane Asahan, bernama Datuk Daurung. Kemudian setelah bertarung adu kesaktian, tidak ada yang kalah dan menang, maka masing-masing mengeluarkan aji pamungkas, yaitu menjelma menajdi seekor ular naga dan ikan dundung. Keduanya lalu terjun ke sungai Silau. Mereka bertempur dengan mengandalkan kesaktian masing-masing. Akan tetapi, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina dapat dipukul jatuh, tertusuk sanai (patil) dari ikan dundung jelmaan Datuk Daurung. Naga itu meraung-raung menahan sakit dan menggelepar, yang akhirnya terkulai hanyut dan terkapar di hilir sungai Silau tidak seberapa jauh dari bukit itu. Setelah ratusan tahun kemudian, menurut cerita secara turun temurun dan sudah menjadi semacam legenda di masyarakat, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina siuman dari pingsannya yang cukup lama. Diiringi hujan lebat, petir sambung menyambung sehingga terjadilah banjir besar.
Kemudian ular naga tersebut berkisar-kisar (berenang-renang) dan menghanyutkan diri menelusuri Sungai Silau sampa sungai Asahan di kota Tanjung Balai). Selanjutnya menuju ke Selat Malaka.
Perkampungan di kawasan tempat naga berkisar tersebut akhirnya disebut dengan nama Kampung Kisaran Naga. Sekarang menjadi Kelurahan Kisaran Naga dan kota yang berada di dekat sungai Silau disebut dengan nama Kisaran, sebagai ibukota Kabupaten Asahan.
Memang, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan perkampungan itu mulai disebut dengan nama Kisaran Naga, demikian juga nama Kisaran.
Kembali ke bukit Katerina, Tim Jelajah Misteri mendapat penjelasan dari Sukino, seorang buruh kebun Tanah Raja yang pernah menjalani rawat inap selama 14 hari di RS, Ibu Kartini pada tahun 1971.
Sukini berkisah. Saat itu, kebetulan malam Jum’at. Dia bermimpi didatangi seorang laki-laki gagah perkasa berpakaian seragam kebesaran Cina. Kemudian diajak masuk ke istana di bawah bukit Katerina.
Bibir Sukino berdecak kagum karena istana tersebut sangat indah, diterangi lampu-lampu gemerlapan, dengan hiasan istana bertatahkan ratna mutu manikam.
Kepada Misteri, Sukino menceritakan. Dirinya disambut cukup hormat oleh punggawa dan dayang-dayang istana. Kemudian dipersilahkan duduk di atas permadani lembut. Distu talah tersedia pula bermacam ragam makanan yang tampaknya cukup lezat dan mengundang selera makan.
“Selama berada di istana gaib di bawah Bukit Katerina, rasanya saya tidak ingin pulang karena suasana di ruangan itu sangat indah dan nyaman. Apalagi didampingi wanita-wanita muda belia yang cantik rupawan,” cerita Sukirno.
Namun, ketika akan mengambil makanan yang terhidang, tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menarik tubuhnya ke luar dari istana. Di saat itulah, dia terbangun dan yang ada hanya ruangan rumah sakit yang sepi. Hanya ditemani beberapa orang pasien lain yang tertidur pulas.
Jam dinding menunjukkan 03.15 wib. Sukirno merasa bersyukur tidak sempat menyantap makanan di istana itu. “Jika tidak, mungkin saya akan terus berada di bawah bukit Katerina menjadi budak dedemit yang tidak lain adalah makhluk halus penjaga Gua Bukit itu,” tambahnya mengenang mimpi 36 tahun silam itu.
April lalu, Misteri bersama Adi Sunarto coba menelusuri lebih jauh kemisteriusan gua di bukit Katerina itu, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana keangkerannya. Di perapatan Simpang Kartini, persisnya persimpangan jalan Lintas Sumatera menuju kota Pematang Siantar, kami berhenti makan di sebuah warung kecil. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki tua yang kami taksir berusia hampir 80-an, singgah di warung yang sama. Bahkan kami diajak mampir ke rumahnya.
Tawaran kakek Samudi, demikian kami memanggilnya, untuk mampir, tentu tidak kami sia-siakan.
“Mungkin dari kakek tua itu kita mendapat informasi tentang misteri Bukit Katerina,” ujar Adi Sunarto.
Kakek Samudi mengendarai sepeda bututnya, sementara kami mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.
“Bila sudah lihat rumah kecil berdinding papan, atap nipah dan di depannya ada pohon bunga kenanga, di sebelah kiri jalan, itulah rumah saya,” kata kakek Samudi sambil mengayuh sepedanya.
Sudah tentu kami melaju lebih dahulu meninggalkan kakek tua itu. Akan tetapi, kami tak habis pikir, setelah kami melihat sebuah rumah tua dan sederhana seperti dijelaskan kakek Samudi, ternyata orang tua itu sudah menunggu di depan pintu. Sepeda bututnya disandarkan di sebuah tunggul pohon kelapa di samping rumahnya.
Misteri dan Adi Sunarto hampir tidak percaya apakah yang ada di depan pintu adalah benar kakek tua itu adanya. Adi Sunarto membelokkan motornya ke rumah tua itu. Dan benar, yang sudah menanti kedatangan kami di depan pintu adalah kakek Samudi.
Misteri bertanya dalam hati, ilmu apa yang digunakan kakek tua itu hingga dapat mendahului kendaraan yang kami naiki? Sementara kami sendiri tidak melihat kapan dia mendahului kami.
“Silahkan masuk ke gubuk saya!” Ajak kakek Samudi mempersilakan.
Masih dengan rasa heran bercampur takjub, kami masuk ke rumah sangat sederhana berukuran 5x7 meter, dinding papan yang sudah lapuk, lantai tanah dan atap nipah itu
Di ruang tamu yang kecil dan sempit, ada sepasang kursi rotan yang reot, di depannya terdapat sebuah meja terbuat dari papan yang sudah mulai dimakan rayap. Kami memandangi beberap foto kusam terpajang di dinding.
Ketika kami tengah asyik melihat foto sepasang pengantin sedang duduk di pelaminan, kakek Samudi tiba-tiba berujar, “Itu gambar kami sewaktu jadi pengantin.”
Tanpa peduli pada keterkejutan kami, dia lalu duduk sambil meletakkan tiga gelas air putih. Untuk menutupi keterkejutan kami, Adi Sunarto memuji foto kakek Samudi sewaktu masih muda. “Dulu waktu mudanya, kakek ganteng juga ya?” Kata sahabat Misteri itu.
Orang tua yang disebut dengan nama Samudi hanya tersenyum sambil mempersilahkan kami minum.
Hampir satu jam kami berbincang-bincang dengan kakek Samudi sekitar cerita Bukit Katerina. Dari kakek itu, kami mendapat keterangan bahwa bukit itu pernah dijadikan tempat pemujaan orang-orang Cina dengan membangun tapekong dipuncaknya, karena memang dianggap keramat dan memiliki daya magis cukup kuat.
Menurut kakek Samudi, di bawah bukit itu terdapat gua di dalam air berbentuk bangunan kuno. Tapi kakek tua ini tidak dapat menjelaskan tahun berapa gua itu mulai ada.
“Yang pasti goa itu sudah lama ada di sana!” Katanya.
“Apa kakek sudah pernah masuk ke gua itu?” Tanya Misteri.
Kakek Samudi mengerutkan keningnya yang keriput, lalu menjawab; “Saya pernah melakukan tapa brata di dalam gua itu, Nak, selama 40 hari,” ujarnya. Kakek tua yang mengaku datang dari Jawa Timur ke Sumatera Utara sebagai kuli kontrak itu, juga menceritakan bahwa pernah terjadi seorang laki-laki mati terbunuh di bukit itu. Tapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Laki-laki yang terbunuh dengan sangat mengenaskan. Kepalaya dipenggal hingga terpisah dari badannya.
Mendengar cerita kakek Samudi tentang orangmati terbunuh itu, Misteri teringat ketika suatu malam dibulan Suro tahun 2005, seorang penjual bandrek jatuh pingsan di samping gerobak jualannya.
Setelah sadar, dia menceritakan bahwa dia telah didatangi oleh orang yang ingin membeli bandreknya, akan tetapi alangkah terkejutnya karena di keremangan malam itu, dia hanya melihat orang itu hanya kepalanya saja tanpa badan.
Menjelang maghrib, kami baru keluar dari rumah gubuk kakek Samudi. Sebelum kami pamit, kakek tua itu berkata, “Kalau kalian mau menengok gua tadi, besok kalian bisa datang lagi supaya dapat melihat dari dekat. Tapi kalian tidak bisa masuk ke dalam gua itu tanpa saya. Karena gua itu cukup angker,” ujarnya.
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan kakek Samudi, kami kembali berangkat ke rumah si kakek tua. Jujur saja, kami sangat tertantang dengan pengakuannya yang katanya sanggup menunjukkan gua di bawah bukit Katerina itu.
Akan tetapi, keanehan menimpa kami. Ketika tiba di kelurahan Sei Renggas, kami seperti orang kebingungan. Bagaimana tidak? Rumah kakek Samudi yang kemarin kami kunjungi tidak ada lagi di pertapakannya.
“Mungkin kita tersesat!” Kata Adi.
“Tak mungkin! Karena jelas sekali ini rumahnya, ditandai ada tunggul pohon kelapa di depan rumahnya,” jawab Misteri.
Akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan kepada penduduk yang tinggal tidak jauh dari tempat kami mampir kemarin. Kami semakin bingung, karena menurut penjelasan salah seorang penduduk, selama ini tidak ada rumah di kawasan itu dan tak ada seorang kakek bernama Samudi. Jadi, siapa sebenarnya kakek itu? Sungguh mengherankan!
Dengan perasan kecewa bercampur heran, kami kembali dan memutuskan untuk mencari tahu tentang keberadaan Bukit Katerina yang masih mengandung misteri. Menjelang Dzuhur, kami sudah berada di bukit itu. Biarlah tak dapat masuk ke gua kaerna kakek Samudi tidak ada, asalkan bisa mengambil gambar mulut gua itu.
Adi Sunarto sudah standby denga kameranya menjepret Bukit Katerina dari jalan Lintas Kisaran-Pematang Siantar. Lalu kami turun sedikit melihat bibir sungai Silau untuk melihat gua di bawah bukit itu.
Akan tetapi, mulut gua itu tidak dapat kami lihat dengan jelas, karena bibir gua dari seberang sungai (dari Desa Tanjung Alam). Perjalanan dari Bukit Katerina ke Desa Tanjung Alam memakan waktu sekitar 20 menit.
Di Dusun II Desa Tanjung Alam, kami bertemu dengan Hartono yang dapat menunjukkan tempat yang strategis untuk dapat mengambil foto mulut gua dibawa bukit Katerina itu, karena lebar sungai hanya sekitar 30 meter saja.
Selain mengambil foto, terjadi peristiwa yang cukup aneh. Dalam keadaan antara sadar dengan tidak, kawasan di sekeliling tempat kami berdiri seketika berubah menjadi gelap. Kemudian perasaan kami digandeng oleh seorang laki-laki misterius berjalan di atas air sungai dan dalam tempo cukup singkat, kami telah sampai di mulut gua di bawah Bukit Katerina.
Misteri dan teman tak habis pikir, mengapa kami bisa berjalan di atas air seperti layaknya berjalan di atas tanah? Setibanya di pintu gua, orang tua misterius itu membawa kami masuk ke dalam gua yang gelap dan dingin.
Lelaki tua itu segera menyalakan obor yang diambil dari dinding gua. Cahayanya menyinari ruang di dalam gua itu. Kami sangat terperanjat, ketika dari sinar obor itu kami lihat wajah lelaki tua misterius itu ternyata adalah kakek Samudi.
Tanpa berkata-kata sedikitpun, kakek Samudi membawa kami mengelilingi gua yang dingin itu. Di sudut gua, kami melihat ada dua sinar bulat berwarna kuning keemasan. Bau harum menusuk hidung. Kakek Samudi yang berjalan di depan segera duduk bersila di hadapan sinar tersebut dan tanpa diperintah, kami mengikuti gerakan kakek tua misterius itu.
Ternyata sinar tersebut adalah sepasang mata dari sosok makhluk bermahkota yang duduk di atas altar batu. Tampaknya seperti kepala seekor ular besar. Rasa takut mulai timbul menyusul bulu roma kami yang berdiri tegak.
Kakek Samudi mulai buka bicara, “Ampun Paduka, dua orang ini adalah cucu hamba yang ingin mengetahui keberadaan gua ini. Mohonlah Paduka dapat memaafkan kelancangan mereka.” Entah mengapa, kakek Samdi menyabut makhluk itu dengan panggilan paduka.
“Ya, aku tahu sejak kemarin ada orang ingin tahu tentang gua ini. Tapi maksudnya baik,” jawab makhluk itu dengan suara berat menggetarkan ruangan gua. Bahkan, kelelawar hitam yang bergelantungan didinging gua berhamburan keluar, sambil bersuara gemuruh memekakkan telinga.
“Apa yang kalian cari?” Makhluk aneh itu bertanya kepada kami.
Adi Sunarto memandangi Misteri sejenak, kemudian memandangi wajah kakek Samudi. “Ampun, Paduka! Mereka berdua tidak mencari atau menginginkan sesuatu. Cucu hamba ini hanya ingin memastikan bahwa di bawah bukit ini memang benar ada sebuah gua, jadi mereka meminta hamba untuk membawa mereka kemari,” jawab kakek Samudi.
Gua di dalam air, di bawah bukit itu terasa semakin mencekam. Udara semakin dingin menusuk sumsum.
Makhluk aneh itu kembali bersuara. “Baiklah, akan tetapi jika ingin datang lagi, kalian harus membawa sesaji satu ekor ayam jantan berbulu wulung (hitam mulus), ari-ari dari bayi laki-laki yang lahir hari Jum’at Kliwon dan bunga macan kerah.
Ayam dan ari-ari, kalian cemplungkan ke air sungai Silau dan ketika itu kalian akan sampai ke mulut gua ini. Kemudian taburkan bunga macan kerah ke pintu gua dan dayang-dayangku akan mempersilhakan kalian masuk.” Ujarnya panjang lebar.
Tak lama kemudian, sinar mata makhluk itu meredup dan padam. Gua kembali menjadi gelap. Kakek Samudi memberi hormat, lalu berdiri dan berjalan menuju mulut goa. Kami mengikutinya dari belakang.
Anehnya, kami tidak sadar kapan kakek Samudi membawa kami keluar gua dan menyeberangi sungai seperti tadi, saat kami pergi.
Yang pasti, tiba-tiba saja kami sudah berada di seberang sungai, tempat kami tadi mengambil foto mulut gua itu. Bahkan yang tak kalah aneh, kakek Samudi pun tak ada bersama kami lagi.
Dalam kebingungan, kami mengingat-ingat pesan makhluk aneh tadi. Kalau ayam jago wulung dan kembang macan kerah amat mudah kami peroleh. Akan tetap tentang ari-ari jabang bayi laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Kliwon, disamping sangat sulit juga tidak mungkin kami bisa mencarinya.
Matahari telah condong ke barat, sebab tanda hari sudah sore. Kami pun bergegas pulang dengan membawa pengalaman spiritual yang tak mungkin bisa kami peroleh lagi di tempat lainnya. Namun, ada sedikit penyesalan, mengapa kami tidak menanyakan kepada kakek Samudi siapa atau makhluk apa yang bersemayam di dalam gua di bawah bukit itu?
Misteri juga terlupa tidak menanyakan siapa sebenarnya kakek tua misterius yang mengaku bernama Samudi itu?
Hingga kini, gua di Bukit Katerina dan kakek Samudi tetap menjadi misteri yang entah kapan dapat terungkap.Sumber SA
Jika dilihat sepintas, bukit Katerina merupakan gundukan tanah biasa yang tingginya mencapai kurang lebih 50 meter. Tempat ini sepertinya tidak terdapat hal-hal yang aneh atau luar biasa. Bahkan, ketika terjadi gempa Nias, Sumatera Utara pada malam hari, sekitar pukul 23.00 wib, beberapa tahun yang lalu, terdengar pula isu tsunami di wilayah Asahan. Tak ayal, bukit Katerina menjadi tujuan masyarakat Kisaran dan sekitarnya sebagai tempat mengungsi. Sehingga bukit tersebut penuh sesak dengan warga masyarakat. Padahal isyu tsunami hanya isapan jempol, yang sengaja dihembuskan untuk menciptakan suasana keruh dengan maksud agar masyarakat dilanda kepanikan.
Memang, tidak banyak yang tahu bahwa ternyata bukit Katerina menyimpan misteri yang hingga saat ini belum terpecahkan. Bagi seorang yang memiliki kemampuan spiritual linuwih, atau yang memiliki indera keenam, pasti akan meresakan sesuatu yang berbeda bila melawati temoat ini.
Menurut kisah yang sudah ada sejak turun-temurun, pada sekitar abad XVII, bukit Katerina adalah tempat bertempurnya panglima perang kerajaan Cina dengan Raja Maria Pane ke-7 dari Buntu Pane Asahan, bernama Datuk Daurung. Kemudian setelah bertarung adu kesaktian, tidak ada yang kalah dan menang, maka masing-masing mengeluarkan aji pamungkas, yaitu menjelma menajdi seekor ular naga dan ikan dundung. Keduanya lalu terjun ke sungai Silau. Mereka bertempur dengan mengandalkan kesaktian masing-masing. Akan tetapi, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina dapat dipukul jatuh, tertusuk sanai (patil) dari ikan dundung jelmaan Datuk Daurung. Naga itu meraung-raung menahan sakit dan menggelepar, yang akhirnya terkulai hanyut dan terkapar di hilir sungai Silau tidak seberapa jauh dari bukit itu. Setelah ratusan tahun kemudian, menurut cerita secara turun temurun dan sudah menjadi semacam legenda di masyarakat, ular naga jelmaan Panglima Perang Cina siuman dari pingsannya yang cukup lama. Diiringi hujan lebat, petir sambung menyambung sehingga terjadilah banjir besar.
Kemudian ular naga tersebut berkisar-kisar (berenang-renang) dan menghanyutkan diri menelusuri Sungai Silau sampa sungai Asahan di kota Tanjung Balai). Selanjutnya menuju ke Selat Malaka.
Perkampungan di kawasan tempat naga berkisar tersebut akhirnya disebut dengan nama Kampung Kisaran Naga. Sekarang menjadi Kelurahan Kisaran Naga dan kota yang berada di dekat sungai Silau disebut dengan nama Kisaran, sebagai ibukota Kabupaten Asahan.
Memang, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan perkampungan itu mulai disebut dengan nama Kisaran Naga, demikian juga nama Kisaran.
Kembali ke bukit Katerina, Tim Jelajah Misteri mendapat penjelasan dari Sukino, seorang buruh kebun Tanah Raja yang pernah menjalani rawat inap selama 14 hari di RS, Ibu Kartini pada tahun 1971.
Sukini berkisah. Saat itu, kebetulan malam Jum’at. Dia bermimpi didatangi seorang laki-laki gagah perkasa berpakaian seragam kebesaran Cina. Kemudian diajak masuk ke istana di bawah bukit Katerina.
Bibir Sukino berdecak kagum karena istana tersebut sangat indah, diterangi lampu-lampu gemerlapan, dengan hiasan istana bertatahkan ratna mutu manikam.
Kepada Misteri, Sukino menceritakan. Dirinya disambut cukup hormat oleh punggawa dan dayang-dayang istana. Kemudian dipersilahkan duduk di atas permadani lembut. Distu talah tersedia pula bermacam ragam makanan yang tampaknya cukup lezat dan mengundang selera makan.
“Selama berada di istana gaib di bawah Bukit Katerina, rasanya saya tidak ingin pulang karena suasana di ruangan itu sangat indah dan nyaman. Apalagi didampingi wanita-wanita muda belia yang cantik rupawan,” cerita Sukirno.
Namun, ketika akan mengambil makanan yang terhidang, tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menarik tubuhnya ke luar dari istana. Di saat itulah, dia terbangun dan yang ada hanya ruangan rumah sakit yang sepi. Hanya ditemani beberapa orang pasien lain yang tertidur pulas.
Jam dinding menunjukkan 03.15 wib. Sukirno merasa bersyukur tidak sempat menyantap makanan di istana itu. “Jika tidak, mungkin saya akan terus berada di bawah bukit Katerina menjadi budak dedemit yang tidak lain adalah makhluk halus penjaga Gua Bukit itu,” tambahnya mengenang mimpi 36 tahun silam itu.
April lalu, Misteri bersama Adi Sunarto coba menelusuri lebih jauh kemisteriusan gua di bukit Katerina itu, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana keangkerannya. Di perapatan Simpang Kartini, persisnya persimpangan jalan Lintas Sumatera menuju kota Pematang Siantar, kami berhenti makan di sebuah warung kecil. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki tua yang kami taksir berusia hampir 80-an, singgah di warung yang sama. Bahkan kami diajak mampir ke rumahnya.
Tawaran kakek Samudi, demikian kami memanggilnya, untuk mampir, tentu tidak kami sia-siakan.
“Mungkin dari kakek tua itu kita mendapat informasi tentang misteri Bukit Katerina,” ujar Adi Sunarto.
Kakek Samudi mengendarai sepeda bututnya, sementara kami mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.
“Bila sudah lihat rumah kecil berdinding papan, atap nipah dan di depannya ada pohon bunga kenanga, di sebelah kiri jalan, itulah rumah saya,” kata kakek Samudi sambil mengayuh sepedanya.
Sudah tentu kami melaju lebih dahulu meninggalkan kakek tua itu. Akan tetapi, kami tak habis pikir, setelah kami melihat sebuah rumah tua dan sederhana seperti dijelaskan kakek Samudi, ternyata orang tua itu sudah menunggu di depan pintu. Sepeda bututnya disandarkan di sebuah tunggul pohon kelapa di samping rumahnya.
Misteri dan Adi Sunarto hampir tidak percaya apakah yang ada di depan pintu adalah benar kakek tua itu adanya. Adi Sunarto membelokkan motornya ke rumah tua itu. Dan benar, yang sudah menanti kedatangan kami di depan pintu adalah kakek Samudi.
Misteri bertanya dalam hati, ilmu apa yang digunakan kakek tua itu hingga dapat mendahului kendaraan yang kami naiki? Sementara kami sendiri tidak melihat kapan dia mendahului kami.
“Silahkan masuk ke gubuk saya!” Ajak kakek Samudi mempersilakan.
Masih dengan rasa heran bercampur takjub, kami masuk ke rumah sangat sederhana berukuran 5x7 meter, dinding papan yang sudah lapuk, lantai tanah dan atap nipah itu
Di ruang tamu yang kecil dan sempit, ada sepasang kursi rotan yang reot, di depannya terdapat sebuah meja terbuat dari papan yang sudah mulai dimakan rayap. Kami memandangi beberap foto kusam terpajang di dinding.
Ketika kami tengah asyik melihat foto sepasang pengantin sedang duduk di pelaminan, kakek Samudi tiba-tiba berujar, “Itu gambar kami sewaktu jadi pengantin.”
Tanpa peduli pada keterkejutan kami, dia lalu duduk sambil meletakkan tiga gelas air putih. Untuk menutupi keterkejutan kami, Adi Sunarto memuji foto kakek Samudi sewaktu masih muda. “Dulu waktu mudanya, kakek ganteng juga ya?” Kata sahabat Misteri itu.
Orang tua yang disebut dengan nama Samudi hanya tersenyum sambil mempersilahkan kami minum.
Hampir satu jam kami berbincang-bincang dengan kakek Samudi sekitar cerita Bukit Katerina. Dari kakek itu, kami mendapat keterangan bahwa bukit itu pernah dijadikan tempat pemujaan orang-orang Cina dengan membangun tapekong dipuncaknya, karena memang dianggap keramat dan memiliki daya magis cukup kuat.
Menurut kakek Samudi, di bawah bukit itu terdapat gua di dalam air berbentuk bangunan kuno. Tapi kakek tua ini tidak dapat menjelaskan tahun berapa gua itu mulai ada.
“Yang pasti goa itu sudah lama ada di sana!” Katanya.
“Apa kakek sudah pernah masuk ke gua itu?” Tanya Misteri.
Kakek Samudi mengerutkan keningnya yang keriput, lalu menjawab; “Saya pernah melakukan tapa brata di dalam gua itu, Nak, selama 40 hari,” ujarnya. Kakek tua yang mengaku datang dari Jawa Timur ke Sumatera Utara sebagai kuli kontrak itu, juga menceritakan bahwa pernah terjadi seorang laki-laki mati terbunuh di bukit itu. Tapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Laki-laki yang terbunuh dengan sangat mengenaskan. Kepalaya dipenggal hingga terpisah dari badannya.
Mendengar cerita kakek Samudi tentang orangmati terbunuh itu, Misteri teringat ketika suatu malam dibulan Suro tahun 2005, seorang penjual bandrek jatuh pingsan di samping gerobak jualannya.
Setelah sadar, dia menceritakan bahwa dia telah didatangi oleh orang yang ingin membeli bandreknya, akan tetapi alangkah terkejutnya karena di keremangan malam itu, dia hanya melihat orang itu hanya kepalanya saja tanpa badan.
Menjelang maghrib, kami baru keluar dari rumah gubuk kakek Samudi. Sebelum kami pamit, kakek tua itu berkata, “Kalau kalian mau menengok gua tadi, besok kalian bisa datang lagi supaya dapat melihat dari dekat. Tapi kalian tidak bisa masuk ke dalam gua itu tanpa saya. Karena gua itu cukup angker,” ujarnya.
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan kakek Samudi, kami kembali berangkat ke rumah si kakek tua. Jujur saja, kami sangat tertantang dengan pengakuannya yang katanya sanggup menunjukkan gua di bawah bukit Katerina itu.
Akan tetapi, keanehan menimpa kami. Ketika tiba di kelurahan Sei Renggas, kami seperti orang kebingungan. Bagaimana tidak? Rumah kakek Samudi yang kemarin kami kunjungi tidak ada lagi di pertapakannya.
“Mungkin kita tersesat!” Kata Adi.
“Tak mungkin! Karena jelas sekali ini rumahnya, ditandai ada tunggul pohon kelapa di depan rumahnya,” jawab Misteri.
Akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan kepada penduduk yang tinggal tidak jauh dari tempat kami mampir kemarin. Kami semakin bingung, karena menurut penjelasan salah seorang penduduk, selama ini tidak ada rumah di kawasan itu dan tak ada seorang kakek bernama Samudi. Jadi, siapa sebenarnya kakek itu? Sungguh mengherankan!
Dengan perasan kecewa bercampur heran, kami kembali dan memutuskan untuk mencari tahu tentang keberadaan Bukit Katerina yang masih mengandung misteri. Menjelang Dzuhur, kami sudah berada di bukit itu. Biarlah tak dapat masuk ke gua kaerna kakek Samudi tidak ada, asalkan bisa mengambil gambar mulut gua itu.
Adi Sunarto sudah standby denga kameranya menjepret Bukit Katerina dari jalan Lintas Kisaran-Pematang Siantar. Lalu kami turun sedikit melihat bibir sungai Silau untuk melihat gua di bawah bukit itu.
Akan tetapi, mulut gua itu tidak dapat kami lihat dengan jelas, karena bibir gua dari seberang sungai (dari Desa Tanjung Alam). Perjalanan dari Bukit Katerina ke Desa Tanjung Alam memakan waktu sekitar 20 menit.
Di Dusun II Desa Tanjung Alam, kami bertemu dengan Hartono yang dapat menunjukkan tempat yang strategis untuk dapat mengambil foto mulut gua dibawa bukit Katerina itu, karena lebar sungai hanya sekitar 30 meter saja.
Selain mengambil foto, terjadi peristiwa yang cukup aneh. Dalam keadaan antara sadar dengan tidak, kawasan di sekeliling tempat kami berdiri seketika berubah menjadi gelap. Kemudian perasaan kami digandeng oleh seorang laki-laki misterius berjalan di atas air sungai dan dalam tempo cukup singkat, kami telah sampai di mulut gua di bawah Bukit Katerina.
Misteri dan teman tak habis pikir, mengapa kami bisa berjalan di atas air seperti layaknya berjalan di atas tanah? Setibanya di pintu gua, orang tua misterius itu membawa kami masuk ke dalam gua yang gelap dan dingin.
Lelaki tua itu segera menyalakan obor yang diambil dari dinding gua. Cahayanya menyinari ruang di dalam gua itu. Kami sangat terperanjat, ketika dari sinar obor itu kami lihat wajah lelaki tua misterius itu ternyata adalah kakek Samudi.
Tanpa berkata-kata sedikitpun, kakek Samudi membawa kami mengelilingi gua yang dingin itu. Di sudut gua, kami melihat ada dua sinar bulat berwarna kuning keemasan. Bau harum menusuk hidung. Kakek Samudi yang berjalan di depan segera duduk bersila di hadapan sinar tersebut dan tanpa diperintah, kami mengikuti gerakan kakek tua misterius itu.
Ternyata sinar tersebut adalah sepasang mata dari sosok makhluk bermahkota yang duduk di atas altar batu. Tampaknya seperti kepala seekor ular besar. Rasa takut mulai timbul menyusul bulu roma kami yang berdiri tegak.
Kakek Samudi mulai buka bicara, “Ampun Paduka, dua orang ini adalah cucu hamba yang ingin mengetahui keberadaan gua ini. Mohonlah Paduka dapat memaafkan kelancangan mereka.” Entah mengapa, kakek Samdi menyabut makhluk itu dengan panggilan paduka.
“Ya, aku tahu sejak kemarin ada orang ingin tahu tentang gua ini. Tapi maksudnya baik,” jawab makhluk itu dengan suara berat menggetarkan ruangan gua. Bahkan, kelelawar hitam yang bergelantungan didinging gua berhamburan keluar, sambil bersuara gemuruh memekakkan telinga.
“Apa yang kalian cari?” Makhluk aneh itu bertanya kepada kami.
Adi Sunarto memandangi Misteri sejenak, kemudian memandangi wajah kakek Samudi. “Ampun, Paduka! Mereka berdua tidak mencari atau menginginkan sesuatu. Cucu hamba ini hanya ingin memastikan bahwa di bawah bukit ini memang benar ada sebuah gua, jadi mereka meminta hamba untuk membawa mereka kemari,” jawab kakek Samudi.
Gua di dalam air, di bawah bukit itu terasa semakin mencekam. Udara semakin dingin menusuk sumsum.
Makhluk aneh itu kembali bersuara. “Baiklah, akan tetapi jika ingin datang lagi, kalian harus membawa sesaji satu ekor ayam jantan berbulu wulung (hitam mulus), ari-ari dari bayi laki-laki yang lahir hari Jum’at Kliwon dan bunga macan kerah.
Ayam dan ari-ari, kalian cemplungkan ke air sungai Silau dan ketika itu kalian akan sampai ke mulut gua ini. Kemudian taburkan bunga macan kerah ke pintu gua dan dayang-dayangku akan mempersilhakan kalian masuk.” Ujarnya panjang lebar.
Tak lama kemudian, sinar mata makhluk itu meredup dan padam. Gua kembali menjadi gelap. Kakek Samudi memberi hormat, lalu berdiri dan berjalan menuju mulut goa. Kami mengikutinya dari belakang.
Anehnya, kami tidak sadar kapan kakek Samudi membawa kami keluar gua dan menyeberangi sungai seperti tadi, saat kami pergi.
Yang pasti, tiba-tiba saja kami sudah berada di seberang sungai, tempat kami tadi mengambil foto mulut gua itu. Bahkan yang tak kalah aneh, kakek Samudi pun tak ada bersama kami lagi.
Dalam kebingungan, kami mengingat-ingat pesan makhluk aneh tadi. Kalau ayam jago wulung dan kembang macan kerah amat mudah kami peroleh. Akan tetap tentang ari-ari jabang bayi laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Kliwon, disamping sangat sulit juga tidak mungkin kami bisa mencarinya.
Matahari telah condong ke barat, sebab tanda hari sudah sore. Kami pun bergegas pulang dengan membawa pengalaman spiritual yang tak mungkin bisa kami peroleh lagi di tempat lainnya. Namun, ada sedikit penyesalan, mengapa kami tidak menanyakan kepada kakek Samudi siapa atau makhluk apa yang bersemayam di dalam gua di bawah bukit itu?
Misteri juga terlupa tidak menanyakan siapa sebenarnya kakek tua misterius yang mengaku bernama Samudi itu?
Hingga kini, gua di Bukit Katerina dan kakek Samudi tetap menjadi misteri yang entah kapan dapat terungkap.Sumber SA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.