Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) menilai, ada 15 calon presiden yang terpantau radar untuk Pilpres 2024.
Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (2/7) menjelaskan, pihaknya membuat tiga kriteria capres 2024.
Pertama, memiliki tingkat pengenalan di atas 25%. Kedua, berasal dari empat sumber rekruitmen yakni jabatan pemerintahan pusat, dari ketua umum partai politik, dari kepala daerah (gubernur/walikota/bupati), dan keempat, berasal dari profesional, swasta atau Ormas. Presiden sebelumnya berasal dari kalangan ini hanya Presiden Abdurahman Wahid.
Sedangkan kriteria ketiga, capres memiliki potensi (penilaian subjektif tim LSI).
Dari tiga kriteria tersebut, LSI memetakan sejumlah tokoh yang berpeluang sebagai capres pada Pilpres 2024. Pertama, tokoh yang muncul dari sumber rekruitmen jenjang pemerintahan daerah. Dari sumber rekruitmen ini, LSI Denny JA menyimpulkan ada empat tokoh yang potensial yaitu Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), dan Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur).
Selain popularitas, empat tokoh politik ini adalah kepala daerah dari empat provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia.
"DKI Jakarta meskipun populasi pemilihnya tidak sebanyak ketiga daerah lain, namun kepala daerah di Jakarta punya kesempatan ekspose media yang lebih banyak dibanding daerah lain," ujar Rully.
Kedua, jenjang pimpinan partai politik. LSI Denny JA menyimpulkan ada enam tokoh politik yang berpeluang menjadi capres dari sumber rekruitmen pimpinan partai politik. Enam tokoh tersebut adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Sandiaga Uno (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), Puan Maharani (PDIP), dan Muhaimin Iskandar (PKB).
Ketiga, jenjang jabatan pemerintahan. Dari sumber rekruitmen ini, LSI Denny JA menyimpulkan bahwa ada 4 (empat) tokoh yang berpeluang menjadi capres 2024. Keempat tokoh tersebut adalah antara lain; Sri Mulyani (Menteri), Budi Gunawan (Kepala BIN), Tito Karnavian (Kapolri), dan Gatot Nurmantyo (Mantan Panglima TNI).
Keempat, kata Rully, adalah faktor kejutan. Tokoh yang masuk kategori ini adalah tokoh yang saat ini belum muncul menjadi capres potensial di Pilpres 2024 dari semua sumber rekruitmen. Namun kategori ini perlu dimasukkan karena pengalaman Pilpres 2014.
Saat itu, lima tahun sebelum Pilpres 2024, Jokowi adalah tokoh yang tidak masuk radar capres 2014. Namun dua tahun menjelang pilpres (pasca pilkada DKI Jakarta), Jokowi muncul sebagai salah satu figur baru yang sangat diperhitungkan pada Pilpres 2014.
"Tentunya masih banyak nama lain dari berbagai sumber rekruitmen yang tentunya punya potensi sebagai capres," ujar dia.
Namun, kata Rully, tiga kriteria yang telah diuraikan sebelumnya yaitu popularitas di atas 25%, berasal dari empat sumber rekruitmen, dan punya potensi berdasarkan penilaian subjektif LSI Denny JA, yang membatasi nama-nama tersebut.
"Pilpres 2024 masih lima tahun lagi. Namun, pilpres yang tidak akan diikuti oleh petahanan, mengharuskan semua capres potensial untuk segera pasang "kuda- kuda", dan berkampanye lebih awal," tutur dia.
Pasca Pilpres 2019, LSI Denny JA dianugerahkan The Legend Award karena ikut memenangkan pilpres empat kali berturut-turut.
Penghargaan ini diberikan secara khusus kepada Denny JA sebagai pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Karena pada Pilpres 2004, LSI belum lahir, baru ada Lembaga LSI.
Denny JA menjelaskan, tentunya faktor utama kemenangan Jokowi-Maruf pada Pilpres 2019, ditentukan oleh figur kedua tokoh tersebut. Ditambah dengan kerja partai politik koalisi, tim sukses, dan relawan.
"Kami terlibat dan membantu untuk mengisi ruang kosong," tambahnya.
Denny menilai, walaupun Pilpres 2019 telah usai, tetapi pertikaian politik akan terus berlanjut. "Sahut- sahutan, saling kritik, saling menghujat, akan tetap mewarnai ruang publik kita hingga Pilpres 2024 nanti" ujar dia.
Denny menilai, situasi perpecahan tak akan mereda. Karena di balik pertikaian kelompok politik itu, ada elemen pertikaian ideologis. Ada perbedaan soal mimpi Indonesia masa depan. Ada posisi yang berseberangan soal paham kenegaraan.
Pertarungan 4 Ideologi
LSI Denny JA juga memprediksi Pilpres 2024 akan berlangsung lebih 'meriah'. Denny menyebut Pilpres 2024 akan menjadi ajang pertarungan empat ideologi yang berbeda.
"Pilpres 2024 akan semakin ramai karena dua hal. Pertama, empat ideologi kembali bertarung. Bisa jadi keempat-empatnya lebih kuat, lebih punya pengalaman. Kedua, yang bertarung nanti semuanya adalah penantang, tak ada incumbent. Jokowi tak bisa mencalonkan diri kembali," ujar Denny JA di kantornya, gedung Graha Dua Rajawali, Jalan Pemuda III, Jakarta Timur.
Empat ideologi itu adalah ideologi reformasi, ideologi Islam politik, ideologi kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, lalu ada ideologi hak asasi manusia (HAM). Denny memberi penjelasan soal paham empat ideologi itu.
Ideologi politik reformasi, kata Denny, paham ini mulai dibawa oleh Presiden Habibie ketika menjadi presiden pertama era reformasi. Menurutnya, paham politik reformasi itulah yang dianut politik di Indonesia.
"Ini ideologi mainstream, PDIP ada di sini, juga Golkar, juga kaum minoritas. Dalam Pilpres 2019 tempo hari, mayoritas pendukung ideologi ini ada di kubu Jokowi," imbuhnya.
Lalu, ideologi Islam politik. Paham ini, kata Denny, menginginkan syariat Islam lebih berperan di ruang publik. Dia pun mencontohkan beberapa ormas yang dinilainya menganut paham ini.
"Bagi paham ini, ideologi yang berlaku sekarang terlalu sekuler, terlalu liberal, terlalu memisahkan politik dari agama. Yang menonjol dalam ideologi ini adalah FPI, HTI. Kedua ormas ini berperan signifikan dalam Pilpres 2019, di belakang Prabowo," katanya.
Selain itu, ada ideologi kembali ke UUD 1945, yang disebutnya tidak setuju dengan sistem politik ekonomi yang berlaku saat ini.
"Pelopor paham ini awalnya adalah Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat. Di tahun 2009, tokohnya adalah Letnan Jendral Suryadi. Mantan Panglima TNI Djoko Santoso juga ada di barisan ini. Dalam Pilpres 2019, tokoh kembali ke UUD 45 yang asli, Djoko Santoso, juga berada di kubu Prabowo," katanya.
Terakhir, Denny mengatakan ideologi hak asasi manusia. Penganut paham ini banyak mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dianggap kurang liberal. Paham ideologi ini yang mengkritik kinerja Jokowi yang kurang tuntas menyelesaikan kasus HAM di Indonesia.
"Jika Islam politik menganggap pemerintahan Jokowi terlalu liberal, pendukung hak asasi justru sebaliknya, yaitu kurang liberal. Jokowi dianggap kurang tuntas menyelesaikan isu HAM, mulai kasus gerakan 65 hingga pembunuhan Munir. Tokoh ideologi ini lebih banyak dari LSM. Haris Azhar sebagai misal, ia mengkritik keras Jokowi. Tapi ia juga tak mau membela Prabowo, yang ia anggap punya catatan hitam hak asasi manusia," pungkasnya. [Dtc]
Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (2/7) menjelaskan, pihaknya membuat tiga kriteria capres 2024.
Pertama, memiliki tingkat pengenalan di atas 25%. Kedua, berasal dari empat sumber rekruitmen yakni jabatan pemerintahan pusat, dari ketua umum partai politik, dari kepala daerah (gubernur/walikota/bupati), dan keempat, berasal dari profesional, swasta atau Ormas. Presiden sebelumnya berasal dari kalangan ini hanya Presiden Abdurahman Wahid.
Sedangkan kriteria ketiga, capres memiliki potensi (penilaian subjektif tim LSI).
Dari tiga kriteria tersebut, LSI memetakan sejumlah tokoh yang berpeluang sebagai capres pada Pilpres 2024. Pertama, tokoh yang muncul dari sumber rekruitmen jenjang pemerintahan daerah. Dari sumber rekruitmen ini, LSI Denny JA menyimpulkan ada empat tokoh yang potensial yaitu Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), dan Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur).
Selain popularitas, empat tokoh politik ini adalah kepala daerah dari empat provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia.
"DKI Jakarta meskipun populasi pemilihnya tidak sebanyak ketiga daerah lain, namun kepala daerah di Jakarta punya kesempatan ekspose media yang lebih banyak dibanding daerah lain," ujar Rully.
Kedua, jenjang pimpinan partai politik. LSI Denny JA menyimpulkan ada enam tokoh politik yang berpeluang menjadi capres dari sumber rekruitmen pimpinan partai politik. Enam tokoh tersebut adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Sandiaga Uno (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), Puan Maharani (PDIP), dan Muhaimin Iskandar (PKB).
Ketiga, jenjang jabatan pemerintahan. Dari sumber rekruitmen ini, LSI Denny JA menyimpulkan bahwa ada 4 (empat) tokoh yang berpeluang menjadi capres 2024. Keempat tokoh tersebut adalah antara lain; Sri Mulyani (Menteri), Budi Gunawan (Kepala BIN), Tito Karnavian (Kapolri), dan Gatot Nurmantyo (Mantan Panglima TNI).
Keempat, kata Rully, adalah faktor kejutan. Tokoh yang masuk kategori ini adalah tokoh yang saat ini belum muncul menjadi capres potensial di Pilpres 2024 dari semua sumber rekruitmen. Namun kategori ini perlu dimasukkan karena pengalaman Pilpres 2014.
Saat itu, lima tahun sebelum Pilpres 2024, Jokowi adalah tokoh yang tidak masuk radar capres 2014. Namun dua tahun menjelang pilpres (pasca pilkada DKI Jakarta), Jokowi muncul sebagai salah satu figur baru yang sangat diperhitungkan pada Pilpres 2014.
"Tentunya masih banyak nama lain dari berbagai sumber rekruitmen yang tentunya punya potensi sebagai capres," ujar dia.
Namun, kata Rully, tiga kriteria yang telah diuraikan sebelumnya yaitu popularitas di atas 25%, berasal dari empat sumber rekruitmen, dan punya potensi berdasarkan penilaian subjektif LSI Denny JA, yang membatasi nama-nama tersebut.
"Pilpres 2024 masih lima tahun lagi. Namun, pilpres yang tidak akan diikuti oleh petahanan, mengharuskan semua capres potensial untuk segera pasang "kuda- kuda", dan berkampanye lebih awal," tutur dia.
Pasca Pilpres 2019, LSI Denny JA dianugerahkan The Legend Award karena ikut memenangkan pilpres empat kali berturut-turut.
Penghargaan ini diberikan secara khusus kepada Denny JA sebagai pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Karena pada Pilpres 2004, LSI belum lahir, baru ada Lembaga LSI.
Denny JA menjelaskan, tentunya faktor utama kemenangan Jokowi-Maruf pada Pilpres 2019, ditentukan oleh figur kedua tokoh tersebut. Ditambah dengan kerja partai politik koalisi, tim sukses, dan relawan.
"Kami terlibat dan membantu untuk mengisi ruang kosong," tambahnya.
Denny menilai, walaupun Pilpres 2019 telah usai, tetapi pertikaian politik akan terus berlanjut. "Sahut- sahutan, saling kritik, saling menghujat, akan tetap mewarnai ruang publik kita hingga Pilpres 2024 nanti" ujar dia.
Denny menilai, situasi perpecahan tak akan mereda. Karena di balik pertikaian kelompok politik itu, ada elemen pertikaian ideologis. Ada perbedaan soal mimpi Indonesia masa depan. Ada posisi yang berseberangan soal paham kenegaraan.
Pertarungan 4 Ideologi
LSI Denny JA juga memprediksi Pilpres 2024 akan berlangsung lebih 'meriah'. Denny menyebut Pilpres 2024 akan menjadi ajang pertarungan empat ideologi yang berbeda.
"Pilpres 2024 akan semakin ramai karena dua hal. Pertama, empat ideologi kembali bertarung. Bisa jadi keempat-empatnya lebih kuat, lebih punya pengalaman. Kedua, yang bertarung nanti semuanya adalah penantang, tak ada incumbent. Jokowi tak bisa mencalonkan diri kembali," ujar Denny JA di kantornya, gedung Graha Dua Rajawali, Jalan Pemuda III, Jakarta Timur.
Empat ideologi itu adalah ideologi reformasi, ideologi Islam politik, ideologi kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, lalu ada ideologi hak asasi manusia (HAM). Denny memberi penjelasan soal paham empat ideologi itu.
Ideologi politik reformasi, kata Denny, paham ini mulai dibawa oleh Presiden Habibie ketika menjadi presiden pertama era reformasi. Menurutnya, paham politik reformasi itulah yang dianut politik di Indonesia.
"Ini ideologi mainstream, PDIP ada di sini, juga Golkar, juga kaum minoritas. Dalam Pilpres 2019 tempo hari, mayoritas pendukung ideologi ini ada di kubu Jokowi," imbuhnya.
Lalu, ideologi Islam politik. Paham ini, kata Denny, menginginkan syariat Islam lebih berperan di ruang publik. Dia pun mencontohkan beberapa ormas yang dinilainya menganut paham ini.
"Bagi paham ini, ideologi yang berlaku sekarang terlalu sekuler, terlalu liberal, terlalu memisahkan politik dari agama. Yang menonjol dalam ideologi ini adalah FPI, HTI. Kedua ormas ini berperan signifikan dalam Pilpres 2019, di belakang Prabowo," katanya.
Selain itu, ada ideologi kembali ke UUD 1945, yang disebutnya tidak setuju dengan sistem politik ekonomi yang berlaku saat ini.
"Pelopor paham ini awalnya adalah Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat. Di tahun 2009, tokohnya adalah Letnan Jendral Suryadi. Mantan Panglima TNI Djoko Santoso juga ada di barisan ini. Dalam Pilpres 2019, tokoh kembali ke UUD 45 yang asli, Djoko Santoso, juga berada di kubu Prabowo," katanya.
Terakhir, Denny mengatakan ideologi hak asasi manusia. Penganut paham ini banyak mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dianggap kurang liberal. Paham ideologi ini yang mengkritik kinerja Jokowi yang kurang tuntas menyelesaikan kasus HAM di Indonesia.
"Jika Islam politik menganggap pemerintahan Jokowi terlalu liberal, pendukung hak asasi justru sebaliknya, yaitu kurang liberal. Jokowi dianggap kurang tuntas menyelesaikan isu HAM, mulai kasus gerakan 65 hingga pembunuhan Munir. Tokoh ideologi ini lebih banyak dari LSM. Haris Azhar sebagai misal, ia mengkritik keras Jokowi. Tapi ia juga tak mau membela Prabowo, yang ia anggap punya catatan hitam hak asasi manusia," pungkasnya. [Dtc]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.